OPINI - Kata Prabowo: "Pendapat saya kok sama dengan Pak Ganjar. Apa karena buku yang kita baca sama ya.." Tidak kurang dari tiga kali Prabowo mengungkapkan kalimat yang hampir sama.
Ini pastilah gimmik. Trik untuk merangkul Ganjar. Dengan begitu, Prabowo ingin memunculkan kesan bahwa Anies adalah musuh bersama. Musuh Prabowo dan Ganjar. Trik ini dilakukan Prabowo setelah Anies beberapa kali mengungkap sejumlah data yang sempat menyudutkan Prabowo dalam posisinya sebagai Menhan. Terutama data tentang kepemilikan tanah ratusan ribu hektar, alutsista bekas, food estate dan kebocoran anggaran di kemenhan. Dari kritik ini, Anies tampak menguasai masalah.
Tapi sayangnya, trik ini gagal dijalankan Prabowo. Ganjar malah memberi nilai kepada Prabowo angka "5". Ganjar yakin atas penilainnya ini. Ganjar mengaku punya banyak indikator untuk menjelaskan kenapa nilai Manhan "5". Nilai merah !
Di sesi pertanyaan, Ganjar, dengan data-data yang sangat serius dipersiapkan justru menguliti Prabowo. Detail dan tajam. Ketika Prabowo menyatakan bahwa data Ganjar salah, maka Ganjar membuka data-data yang dipersiapkannya secara rapi itu, dan meminta kamera men-zoom-nya. Bahkan Ganjar minta Prabowo mendekat, atau staf Prabowo melihat data yang dibawa oleh Ganjar itu. Sadis !
Prabowo dalam posisinya sebagai Menhan harusnya menguasai segala hal dan memiliki semua data terkait dengan keamanan dan pertahanan. Tapi dalam debat kedua capres ini, Prabowo sama sekali tidak menunjukkan data. Justru yang membawa data adalah dua lawan debatnya: Anies dan Ganjar. Semua penilaian terhadap keburukan kemenhan tidak satupun yang mampu diklarifikasi oleh Prabowo dengan data.
Mestinya prabowo bilang: "data anda salah. Yang benar data ini, ini dan ini." Tapi, Prabowo hanya menyalahkan data yang diungkap Anies dan Ganjar tanpa menunjukkan datanya sendiri yang menurutnya benar. Ironis memang.
Prabowo bilang: "tidak cukup waktu untuk menjelaskan dan membuka data." Prabowo menawarkan di lain waktu untuk diskusi soal ini.
Ini konyol. Debat itu tempat diskusi. Memang waktunya terbatas. Bagaimana dengan waktu yang terbatas, ada data yang diungkap sebagai basis argumentasi untuk menjelaskan dan mengklarifikasi tuduhan. Bukan ngajak bertemu di forum lain.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
Soal debat tadi malam, itu tak bisa lepas dari apa yang terjadi di lapangan. Faktanya, Prabowo memang telah dijadikan sebagai musuh bersama. Tidak saja oleh pendukung Anies dan Ganjar, tapi juga oleh mereka yang muak dengan proses pemilu yang bermasalah. Sampai-sampai ada gerakan "Asal Bukan Prabowo". Ini salah satu reaksi publik dalam mengekspresikan kekecewaannya. Mengapa mereka kecewa kepada Prabowo lalu menjadikannya sebagai musuh bersama?
Ini bisa dilihat dari keputusan Prabowo migrasi ke Jokowi. Faktor bisnis sempat tercetus ketika Prabowo diwawancarai Najwa Sihab. Publik kemudian memahami bahwa migrasinya Prabowo ke Jokowi yang notabene menjadi lawan bebuyutannya berlatarbelakang bisnis. Bisnis akan sulit, bahkan hancur jika dalam posisi menjadi rival penguasa.
Alasan Prabowo migrasi ke Jokowi demi persatuan, ternyata ini tidak terbukti. Rakyat tetap terbelah, dan Prabowo tidak nampak perannya merangkul dan menyatukan kedua belah pihak. Malah Grace Natalie bilang: Prabowo menyesal pernah didukung oleh kelompok Islam kanan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Prabowo sengaja meninggalkan para pendukungnya. Bukan menyatukan.
Ada yang memahami bahwa migrasi Prabowo ke Jokowi berkaitan dengan persiapan pilpres 2024. Tanpa dukungan penguasa, sulit untuk memenangi pilpres. Ini nampaknya telah menjadi keyakinan Prabowo.
Gibran adalah sosok yang telah lama digadang-gadang oleh Prabowo untuk menjadi cawapresnya. Prabowo hanya Percaya Diri kalau Gibran jadi cawapresnya. Bukan Erick Thohir, Muhaimin Iskandar atau Airlangga Hartarto. Fokus Prabowo pada Gibran. Sebab, dengan Gibran menjadi cawapres, maka dukungan kekuasaan Jokowi akan full. Jokowi akan all out dukung Prabowo-Gibran. Dari sinilah "prahara ketua Mahkamah Konstitusi" terjadi. Usia Gibran yang kurang dari 40 tahun bisa maju jadi cawapres.
Dengan dukungan kekuasaan, sejumlah instrumen negara bergerak dan diduga telah ikut beroperasi memenangkan Prabowo-Gibran. Tidak sampai di situ, berbagai gangguan terhadap Anies dan Ganjar pun mulai dirasakan. Tujuh kali acara "Desak Anies" dicabut ijinnya. Sebelumnya, sejumlah acara pertemuan Anies dibatalkan ijinnya secara mendadak. Begitu juga dengan holikopter Anies yang tidak boleh mendarat di sejumlah tempat tanpa alasan hukum.
Abuse of power juga menyasar Ganjar. Sejumlah baliho Ganjar dirusak. Beberapa relawan Ganjar diintimidasi. Entah siapa yang melakukan itu? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Yang tidak kalah ironinya adalah money politics. Massifnya pembagian sembako dan bagi-bagi amplop kepada para pemilih, bahkan pakai sumpah segala, dirasa telah menjadi gangguan nyata untuk pilpres yang demokratis dan sehat.
Belum lagi indikator-indikator kecurangan melalui penyelundupan surat suara dan surat suara yang sudah dicoblos. Bannyaknya jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang bermasalah.
Faktor-faktor inilah yang "secara natural" telah menyatukan Anies dan Ganjar untuk menjadikan Prabowo sebagai musuh bersama. Boleh jadi keduanya tidak saling berkomunikasi. Tidak ada kesepakatan diantara keduanya. Tapi nasib sama dengan sendirinya membuat mereka bersatu. Karl Marx bilang: "masyarakat bersatu karena kesamaan nasib". Dari kepentingan yang sama inilah "solidaritas organik terbentuk", kata Emile Durkheim. Dan ini terlihat dalam debat tadi malam. Karena debat pada hakikatnya mewakili situasi kebatinan dan fakta di lapangan.
Jakarta, 8 Januari 2024
Tonya Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa