JAKARTA - Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi tampak memudar semakin mendekati titik nadir. Pihak penganjur pun semakin turun derajat. Sebelumnya, masih tingkat menteri dan ketum Parpol yang tampil mengolah bola panas itu. Paling tinggi selevel Menkominves Luhut Binsar Panjaitan (LBP) saja yang minggu lalu kembali menggiring bola berbasis aspirasi masyarakat di Big Data. Namum secepat itu pula langsung dibantah para pakar tehnologi informasi, dan pakar - pakar survei.
Yang terbaru, Istana mengutus pejabat level lebih rendah, Tenaga Ahli KSP (Kepala Staf Kopresidenan) Ali Mochtar Ngabalin. Ini semakin menyempurnakan adanya kepentingan istana di balik wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan penundaan Pemilu 2024.
Baca juga:
Tony Rosyid: Harlah PPP Rasa NU
|
Titik nadir dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk melukiskan suatu keadaan yang sudah payah atau tak berdaya.
Gambaran seperti itu mencuat dalam perbincangan Apa Kabar Indonesia Pagi (AKI) di Tvone, Senin (14/3) pagi. Dipandu Bayu Andriyanto dan Maria Assegaf, talkshow menampilkan Ali Mochtar Ngabalin, Effendi Gazali (Pakar Komunikasi Politik) dan Ismail Fahmi (Ismail Fahmi). Pemirsa pasti hapal gaya Ali Mochtar Ngabalin kalau terdesak, yang keluar jurus "rame ing statement".
Barusan, dia mengemukakan alasan biaya untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 mahal, mencapai 110 trilyun. Tampaknya itu yang menjadi alasan "Masyarakat Big Data" (Klaim LBP) meminta agar Pemilu 2024 ditunda. Padahal, belum sebulan Ngabalin menyatakan sebaliknya. Kerita menghadapi masyarakat menyoal mahalnya biaya pembangunan Ibu Kota Negara ( IKN), ia bilang jangan khawatir, pemerintah banyak uang.
Selain alasan ekonomi, Ngabalin menyodorkan juga alasan pandemi Covid19 untuk menunda Pemilu 2024. Dia mensitir hasil survey internasional yang menyebutkan ada 72 negara di dunia yang menunda Pemilu karena alasan pandemi. Betulkah itu?
Pakar politik Saiful Mujani, seperti dikutip Liputan6 tanggal 4 Maret lalu, mengatakan umumnya pemilihan umum (pemilu) di dunia tidak ditunda karena alasan pandemi Covid-19. Tahun 2020 sampai 2021, dari 301 pemilihan umum, 62 persen di antaranya diselenggarakan sesuai waktu atau jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.
Ada yang ditunda kurang dari 6 bulan, sekitar 32 persen. Sementara ada 2 persen yang ditunda selama 1 tahun. Dan 4 persen yang masih ditunda dan belum jelas akan dilakukan kapan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies untuk Semua
|
“Dari data ini, kita melihat bahwa mayoritas agenda pemilu, termasuk pemilu lokal, tidak terganggu secara umum oleh Covid-19, ” jelas pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini dalam keterangan tertulis, Jumat (4/3/2022).
Menurut Saiful, kasus penundaan pemilu nasional hanya terjadi di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi yang sangat lemah atau negara-negara non-demokratis. Saiful mencontohkan negara seperti Zimbabwe atau Haiti yang baru mengalami insiden pembunuhan presiden.
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Anies Baswedan
|
Ini berbeda dengan negara-negara yang demokrasinya sudah matang seperti Korea Selatan. Meskipun kasus pandemi masih banyak, tapi mereka tetap menyelenggarakan pemilihan umum.
“Orang yang berargumen bahwa pemilu seharusnya ditunda dengan alasan pandemi tidak punya basis empirik yang kuat, ” tegasnya.
Bahkan, lanjut Saiful, Indonesia pernah melaksanakan Pilkada 2020 di masa pandemi dan dinilai oleh para pengamat dunia berlangsung dengan sangat baik. Kekhawatiran bahwa partisipasi pemilu akan sangat rendah juga tidak terjadi.
“Kenyataannya, partisipasi pemilu waktu itu lebih tinggi dari rata-rata di zaman normal, ” jelasnya.
Hanya 10ribu Netizen
Ismail Fahmi menjelaskan riset data percakapan di media sosial, khususnya Twitter yang membahas percakapan netizen priode 1-9 Maret. Menurutnya, dari sekian banyak rumpun media sosial, Twitter yang paling banyak dipergunakan netizen untuk mambahas politik. Jumlah penggunanya di Indonesia saja hanya 18 juta, jauh dari jumlah klaim LBP.
"Sedangkan yang terlibat percakapan politik secara intens hanya 10 ribu. Itu hasil penelitian Drone Emprit dari 1-9 Maret. Mayoritas suara menolak penundaan Pemilu dan perpanjangan jabatan Presiden Jokowi, " ujar pakar IT dan pendiri Drone Emprit, sebuah sistem untuk menganalisa dan memonitor media sosial yang berbasis teknologi big data.
Meniru Xi Jinping
Effendi Gazali lebih tertarik menekankan aspek kualitatif dari sekian banyak alasan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
"Katakanlah seluruh 270 juta rakyat terlibat dengan percakapan, apakah itu valid untuk digunakan melabrak konstitusi yang sudah tegas mengatur soal jadwal pemilu dan pembatasan masa jabatan presiden? Tetap harus ada, walaupun katakanlah hanya 1000 orang, bagian dari publik yang kokoh mengingatkan bahwa perubahan jadwal pemilu merupakan 'pemberontakan terhadap konstitusi'. Kecuali kita meniru seperti Xi Jinping yang sejak 2018 bisa menjadi presiden seumur hidup?" tanyanya.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Terkait Big Data LBP yang berbanding terbalik dengan data Drone Emprit dan sejumlah lembaga survei, Effendi Gazali usulkan agar itu dibahas dalam forum terbuka.
"Di forum itu semua pihak silahkan menggelar datanya masing-masing. Saya sendiri lebih konsen pada unsur kualitatif tadi, " sambungnya.
Menghilang
Tiga pewacana pertama, Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar, Zulkifli Hasan (Ketum PAN), dan Muhaimin Iskandar), sudah dua minggu menghilang. Reaksi negatif publik yang hingga hari ini terus meluap mungkin telah disadari potensial merugikan mereka . Berbagai video dan meme yang beredar di media sosial memang menganjurkan masyarakat untuk mengeliminasi partai-partai itu sebagai pilihan pada Pemilu nanti.
Sekarang saja pun berbagai lembaga survei telah mengekspose elektabilitas parpol para pengusul yang amat menyedihkan. Jauh panggang dari api untuk mengantarkan calonnya memenangkan Pilpres (Pemilu Presiden). Entah, kalau motif sesungguhnya mereka mengusulkan penundaan pemilu lantaran miris melihat data hasil survei itu.
Sedangkan terkait pandemi virus Covid 19, bukankah LBP sejak 7 Maret lalu menyatakan Indonesia sudah masuk zone aman. Koordinator Penanganan Covid 19 Jawa-Bali itu bahkan menganjurkan masyarakat tidak perlu lagi test Antigen maupun PCR.
Para pelaku perjalanan dalam negeri atau domestik yang telah disuntik vaksin Corona dosis kedua atau ketiga tak perlu lagi menunjukkan hasil negatif tes antigen-PCR. Entah, kalau aturan itu hanya untuk memberikan legitimasi penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2022, di Lombok, NTB, 18-20 Maret.
Jakarta, 14 Maret 2022
Ilham Bintang
Jurnalis Senior Indonesia