OPINI - PKS marah ! Marah sekali ! Apa pasal? Karena pendukung Anies Baswedan bereaksi ketika PKS bergabung dengan KIM. Berawal dari pencalonan Bobi Nasution, menantu Jokowi di pilgub Sumatera Utara. Dari sini, ada gejolak. Tapi relatif kecil.
Ketika tanggal 4 Agustus (deadline) PKS memutuskan tinggalkan Anies, gabung ke KIM, dan mengusung Ridwan Kamil, pendukung Anies Baswedan marah. Marah semarah marahnya. Kelompok prndukung elitnya mencoba merayu PKS agar balik ke Anies. Gagal ! Kenapa? Karena ini bukan hanya soal pilgub Jakarta. Ini berkaitan dengan 100 daerah yang ikut pilkada. Ini adalah satu kesatuan dari rangkaian pilkada yang disepakati antara PKS dan KIM.
Kemarahan pendukung Anies direspon negatif oleh PKS. PKS balik marah ke Anies. Tidak sedikit yang menyerang Anies. Saling balas serangan antara PKS vs pendukung Anies terus terjadi. Bahkan hingga pilkada selesai, saling serang masih terdengar. Terutama pasca Anies memutuskan untuk mendukung Pramono-Rano.
Di sini lain, Anies membuat video pendek. Isinya: dukungan kepada Syaekhu-Ilham di pilgub Jawa Barat. Begitu juga video dukungan kepada paslon PKS di beberapa wilayah Jabodetabek. Tapi, gak lama kemudian video dukungan Anies di-take-down. Alasanya, gak enak sama KIM. Takut kontra-produktif.
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Anies Baswedan
|
Video dukungan Anies kepada paslon PKS kalah santer dengan isu pilgub DKI yang menimbulkan saling serang antara PKS dengan para pendukung Anies Baswedan. Narasi yang seringkali muncul dari para kader PKS adalah: "PKS rugi dukung Anies. Gak dapat apa-apa." Kalau ditanyakan kepada para pendukung Anies, mereka menjawab: "Gedung DPW PKS Jakarta itu dari mana?".
Pokoknya ruwet. Hubungan PKS dan pendukung Anies lebih bersifat emosional. Rasionalitas politik tersingkir. Kedua belah pihak saling memuaskan dirinya untuk menyalahkan satu sama lain. Akibatnya, paslon PKS banyak tumbang. PKS di Jakarta kalah. Jabar kalah. Bekasi, kalah juga. Depok yang merupakan daerah kekuasaan PKS selama dua puluh tahun terakhir, paslinnya tumbang juga.
Baca juga:
Tony Rosyid: Presiden Harus Lugas!
|
Tapi, PKS masih kekeuh bahwa itu bukan pengaruh Anies. Itu tidak ada hubungannya dengan Anies. Faktor Anies tidak dihitung oleh PKS. Anies bukan variabel penting di perhitungan suara PKS. Mungkin hanya ketua Majlis Syura PKS yang menghitung ini. Kader PKS lainnya secara umum tidak menganggap kekalahan PKS pada pilkada Jabodetabek dan Jabar ada hubungannya dengan Anies. Bagi banyak kader PKS, Anies bukan siapa-siapa dan dianggap tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap PKS. "Wujuduhu ka adamihi", kata sejumlah kader PKS.
PKS lupa bahwa poliik itu punya kalkulasi dan rasionalitasnya sendiri. Tidak bisa dikendalikan oleh rasa "lika and dislike". Kenapa panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) politik seringkali kontras? Karena dalam politik antara rasa dan logika seringkali gak ketemu. Jangan heran kalau ada politisi yang ramah dan tersenyum pada anda, padahal ia sedang kecewa dan sangat marah kepada anda. Kenapa bisa begitu? Karena ia masih butuh anda. Sementara, kader PKS masih didominasi oleh permainan rasa. Marah ya marah aja.
Kalau konstituen dan netizen lebih dominan permainan perasaannya. Tapi, politisi secara umum telah mati perasaannya. Karena tuntutan rasionalitas politik lebih dominan. Jadi, anda akan kesulitan menyampaikan aspirasi kepada para politisi, karena secara umum perasaannya sudah mati. Nah, kader PKS beda. Lebih kuat permainan rasanya dari pada logikanya. Kecuali hanya sedikit, itupun di tingkat elit. Kenapa? Karena PKS partai ideologis.
Secara teoritis, makin kuat ideologinya (fanatisnya), maka makin kuat soliditasnya dan makin sensitif. Makin perasa.
Bagaimana masa depan hubungan PKS dengan Anies Baswedan? Kalau ditanyakan kepada kader PKS, maka jawabnya: "tidak ada pintu lagi". Apalagi setelah Anies dukung Pramono yang notabene kader PDIP. Kita tahu, hubungan PKS dengan PDIP cukup tegang selama ini.
Tapi, kalau menggunakan rasionalitas politik, PKS dan Anies akan diuntungkan jika keduanya bersama-sama. Sebab, pendukung keduanya beririsan. Kuncinya ada di PKS. Mampukah PKS menggunakan rasionalitas politiknya secara terukur untuk membaca faktor Anies ini.
Jakarta, 10 Desember 2024
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa