OPINI - Protes muncul dimana-mana. Jauh sebelum hari pencoblosan. Para Guru Besar di lebih dari 50 universitas protes. Mereka mengingatkan kepada penguasa agar menghentikan segala bentuk intervensinya di pemilu 2024.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi juga demo. Isunya sama. Meminta penguasa, dalam hal ini presiden, untuk tidak ikut cawe-cawe di pemilu 2024. Terutama pilpres.
Baca juga:
Tony Rosyid: Presiden Harus Lugas!
|
Apakah penguasa mengehentikan cawe-cawenya? Apakah suara para Guru Besar dan mahasiswa didengar? Apakah protes para tokoh diperhatikan? Anda pasti tahu jawabannya.
Jika anda punya anak ikut jadi calon di pilpres, apakah anda akan diam dan membiarkan anak anda bertarung sendirian? Jika itu anda lakukan, maka anda akan dianggap oleh keluarga sebagai "Bapak Raja Tega". Anda tentu tidak ingin cacat di mata keluarga anda, terutama di mata anak anda.
Film dokumenter "Dirty Vote" telah menggambarkan bagaimana intervensi pilpres itu berproses. Bagaimana peran kekuasaan secara terstruktur, sistemik dan masif mendesain kemenangan satu putaran. Ada yang membantah film itu? Tidak ! Tiga dosen dan ahli hukum tatanegara yang menjadi pemeran utama film "Dirty Vote" itu malah dituduh partisan. Difitnah diback up oleh - dan mendukung kepada paslon tertentu. Ini tentu saja tudahan ngawur dan konyol.
Apa yang diceritakan oleh Andy Widjadjanto, wanita emas, dan ungkapan sejumlah timses paslon tertentu memiliki benang merahnya dengan film "Dirty Vote". Karena kekuatan film ini ada di data. Film ini dibuat by riset. Datanya cukup lengkap karena diperoleh dari hasil wawancara dan fakta-fakta lapangan dari berbagai daerah di Indonesia. Boleh jadi, inilah film dokumenter terbaik abad 21. Siapa yang nau membantah? Semua yang terlibat di film ini membuka diri untuk beradu fakta dan argumentasi. Mereka juga siap untuk menjadi saksi di pengadilan jika diperlukan.
Pemilu yang diduga kuat diwarnai intimidasi dan kecurangan telah menjadi isu nasional. Rakyat marah. Ini dianggap sudah amat berlebihan. Rakyat sudah sampai pada kesimpulan: ini tidak boleh dibiarkan melenggang. Harus ada upaya mempermasalahkannya. Kalau tidak, ini akan jadi ancaman buat masa depan bangsa. Karena itu, bangsa ini harus diselamatkan dengan mempermasalahkan hasil pilpres 2024 ini.
2019 pemilu sarat kecurangan dan intimidasi. Pemilu 2024, dianggap lebih parah lagi. Institusi negara, hampir semuanya terlibat dan digerakkan untuk memenangkan paslon tertentu. Ironinya, diantara mereka umumnya menggunakan cara-cara intimidatif kepada aparatur negara yang ada di bawahnya.
Para lurah teriak. Mereka harus ikut kerja politik untuk memenangkan paslon tertentu. Jika tidak, dana desa diaudit dan dicari kesalahannya. Sejumlah kepada daerah didatangi dengan ditunjukkan sejumlah daftar kasusnya. Jika tidak taat, kasus berlanjut.
Seorang putra Kiai di Jawa Timur di-OTT. Ditekan kiyainya untuk deklarasi kalau si anak ingin dilepas. Besok paginya sang Kiai deklarasi dukung paslon tertentu. Anaknya pun dilepas.
Negara demikian mencekam. Pasalnya: aparat digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Jika rakyat protes, datang aparat melakukan intimidasi. Ini pengakuan yang banyak muncul di berbagai media. Baik itu pengakuan dari para aktifis, para rektor dan guru besar maupun mahasiswa.
Apakah rakyat diam? Nampaknya tidak. Di berbagai daerah sudah mulai ada perlawanan. Mereka datang ke KPUD dan Bawaslu Daerah. Di Jakarta, setiap hari ada demo di depan gedung KPU dan Bawaslu. Mereka protes. Mereka tidak ingin paslon hasil intimidasi dan kecurangan memimpin Indonesia. Mereka tidak ingin pemilu yang sarat pelanggaran ini disahkan.
Mereka ramai-ramai "tolak hasil pilpres 2024".
Jakarta, 25 Pebruari 2024
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|