OPINI - Beberapa bulan terakhir ini presiden Jokowi menjadi pusat perhatian. Pasalnya, presiden Jokowi dianggap cawe-cawe terlalu jauh urusan koalisi. Bukan kelancaran proses pilpres yang diurus, tapi lebih fokus pada siapa calon yang dikehendaki maju, dan dengan koalisi apa saja. Banyak orang menyayangkan sikap presiden Jokowi yang tak ubahnya seperti King Maker capres.
Belajar dari pilgub DKI 2017, presiden Jokowi ditengarai saat itu ikut "cawe-cawe" dukung Ahok. Berseliweran info tentang ini. Apa akibatnya? Lahirlah kelompok masyarakat yang kecewa karena presiden dianggap tidak bersikap netral. Kelompok inilah yang kemudian dianggap oposisi. Di sisi lain, hubungan Presiden dengan Gubernur DKI seringkali diwarnai "kekurang harmonisan" akibat dari cawe-cawe itu. Bahkan ada kesan pemerintah pusat menjadi oposisi terhadap pemprov DKI. Apakah ini akan terulang di pilpres 2024?
Banyak kritik telah dilontarkan berkaitan dengan sepak terjang politik presiden yang ikut campur dengan pencapresan 2024. Presiden bilang: prncapresan itu urusan partai politik. Tapi, di lain kesempatan bilang bahwa presiden, selain sebagai pejabat publik juga seorang politikus. Dua statemen yang memiliki arti berbeda. Tidak sampai di situ, presiden juga bicara cawapres Ganjar Pranowo. Statemen ini diungkapkan saat Ganjar duduk di sampingnya. Sikap politik "mendukung Ganjar" itu terang-terangan, telanjang dan sulit untuk bisa dibantah. Ganjar pun semakin percaya diri dengan adanya presiden Jokowi yang mendukungnya.
Memang tidak ada aturan yang dilanggar. Tapi, secara moral ini berbahaya. Jika presiden selaku kepala negara ikut campur urusan pencapresan, maka ia telah mendeklarasilan posisinya sebagai lawan dari calon lain. Di sini akan ada kekhawatiran jika kalah. Kekhawatiran inilah yang pada akhirnya bisa mendorong presiden untuk all out memenangkan calonnya. Dengan segala cara. Apapun akan dilakukan untuk memenangkan calon yang didukungnya. Sementara, presiden pegang kekuasaan. Ini cukup menghawatirkan.
Kita tidak bisa membayangkan jika rasa khawatir itu kemudian membuat presiden bekerja secara all out memenangkan calonnya, maka akan berlaku hukum "hidup mati". Padahal, demokrasi mengajarkan kita untuk bertarung secara fair, soal kalah menang itu hal biasa. Tidak perlu hidup mati dipertaruhkan dalam kompetisi ini.
Ada dua keadaan yang paling kita khawatirkan pada pilpres 2024 nanti. Pertama, jika kecurangan masif dan marak intimidasi menggunakan instrumen kekuasaan, maka ini tidak hanya akan merusak demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan gejolak sosial yang rawan pasca pilpres. Ini bisa terjadi di akhir masa kekuasaan Jokowi. Keadaan ini berpotensi membelah rakyat lebih parah dari saat ini. Sementara penguasa baru tidak terlalu kuat di awal periodenya. Kedua, jika pilpres dimenangkan oleh lawan presiden, maka ini akan membahayakan terhadap posisi presiden itu sendiri di kemudian hari. Di sini hukum "hidup mati" berlaku.
Banyak dinamika yang tidak hanya tidak perlu, tapi cukup membahayakan bagi masa depan Indonesia jika presiden Jokowi ini ikut campur terlalu jauh dan menjadi King Maker capres tertentu.
Harapan rakyat, Presiden Jokowi menghentikan keterlibatannya dalam pencapresan 2024. Tidak perlu ikut mengatur koalisi. Cukup menjadi Bapak Bangsa. Siapapun yang menang, ia adalah presiden pilihan rakyat. Bukan presiden pilihan presiden. Ini akan amat baik untuk bangsa, juga untuk Presiden Jokowi sendiri di kemudian hari. Sebab, sejarah tidak ditulis hari ini saja, tapi sejarah akan juga ditulis setelah raja-raja turun tahta dan tidak lagi berkuasa.
Jokowi adalah presiden bagi seluruh rakyat w. Bukan hanya presidennya Ganjar dan para pendukungnya. Rakyat berharap Jokowi tampil sebagai sosok negarawan sejati. Leader bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan mengecilkan dan merendahkan diri dengan mendukung capres tertentu.
Jepara, 6 Mei 2023
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa