OPINI - Di Jawa Barat, Ridwan Kamil moncer. Tokoh paling populer dengan elektabilitas paling tinggi. Sebagai incumbent, kans Ridwan Kamil memenangi pilgub Jawa Barat sangat besar. Boleh dibilang tidak ada lawan yang seimbang. Selama ada Ridwan Kamil, belum ada tokoh yang potensial memenangi pilgub Jawa Barat.
Di sisi lain, Gerindra bernafsu usung kadernya yaitu Dedi Mulyadi untuk maju di pilgub Jawa Barat. Dedi Mulyadi akan dipasangkan dengan Bima Arya Sugiarto, kader PAN. Selama masih ada Ridwan Kamil, kans pasangan Dedi Mulyadi-Bima Arya untuk memenangkan laga pilgub di Jawa Barat cukup berat. Karena itu, Gerindra dan PAN ngotot mendorong Ridwan Kamil ke Jakarta. Meninggalkan Jawa Barat untuk diisi pasangan Dedi Mulyadi Bima Arya.
Ingat pernyataan Zulkifli Hasan, ketum PAN beberapa waktu lalu, bahwa Presiden Jokowi tidak menghendaki Kaesang maju di pilgub Jakarta. Kita bisa tebak arah dari ucapan Zulkifli Hasan ini. Dengan membuka informasi ini, Zulkifli seperti ingin menutup ruang bagi Kaesang maju di Jakarta. Karena yang dikehendaki Zulkifli adalah Ridwan Kamil. Dengan Ridwan Kamil maju di pilgub Jakarta, maka Zulkifli bisa mendorong Bima Arya yang dipasangkan dengan Dedi Mulyadi masuk Jawa Barat.
Nampaknya, Zulkifli masih gak paham kalau Jokowi adalah politisi paling ulung. Arah politik Jokowi paling sulit ditebak. Tahu-tahu di ujung, bukan Ridwan Kamil yang diusung, tapi Kaesang. Inilah hebatnya Jokowi yang "unpredictable".
DPP Golkar sendiri nampak ragu. Kenapa? Pertama, dengan tetap memajukan Ridwan Kamil di Jawa Barat, maka peluang menang tentu jauh lebih besar. Golkar perlu menjaga Jawa Barat, karena provinsi ini punya pemilih terbesar di seluruh Indonesia, yaitu 35, 7 juta.
Kedua, elektabilitas Ridwan Kamil masih jauh di bawah Anies. Meski tetap terbuka peluang bagi Ridwan Kamil untuk bisa menang melawan Anies. Terutama jika ada dukungan "totalitas" dari penguasa. Yang pasti, jika Ridwan Kamil maksain ke Jakarta, mantan Gubernur Jabar ini harus siap berkeringat, bahkan berdarah-darah. Pertarungan yang tidak mudah. Konstelasi Jakarta beda dengan Jawa Barat. Arenanya lebih kecil sehingga setiap kecurangan relatif bisa dipantau. Mesin politik PKS dan PDIP diprediksi bisa mengatasinya
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Akankah ada tawaran menggiurkan buat Golkar sehingga merelakan Ridwan Kamil hengkang dari Jawa Barat dan migrasi ke Jakarta? Penguasa punya segalanya, apa yang gak bisa ditawarkan oleh penguasa.
Tapi satu hal, jika pemerintahan Prabowo yang nopember nanti baru berusia sekitar satu bulan itu ikut cawe-cawe di pilkada, ini bisa menjadi preseden buruk dan kontra-produktif bagi masa depan pemerintahan Prabowo. Jika di awal pemerintahannya Prabowo sudah menciptakan kegaduhan, maka ia akan kehilangan dukungan dan simpati rakyat. Dan ini berefek pada lahirnya ketegangan demi ketegangan di masa depan.
Majunya Ahok dengan dukungan penguasa di pilgub 2017 telah menciptakan ketegangan dan keterbelahan hingga 2024. Tujuh tahun Indonesia gaduh.
Kalau anda berasumsi bahwa ketegangan dan keterbelahan itu efek dari 212, saya rekomendasikan anda belajar lebih banyak lagi tentang teori konflik. Sehingga anda bisa menguji validitas sumber konflik yang lebih akurat.
Sumber konflik itu ketidakadilan. Ibnu Khaldun, Bapak Sosiologi sudah berabad-abad lalu mengatakan ini. Kalau di pilkada Nopember nanti ada ketidak-adilan, maka akan muncul kegaduhan dan keterbelahan di hari-hari kedepan. Jangan cari kambing hitam untuk dijadikan penyebabnya.
Ridwan Kamil bisa dan berhak maju dimana saja. Tapi, instrumen negara tidak boleh ikut bekerja buat pemenangan. Penguasa harus netral. Kalau tidak, ini akan jadi sumber konflik. Efeknya, 5-10 tahun kepemimpinan Prabowo akan penuh ketegangan dan keterbelahan.
Jakarta, 19 Juni 2024
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dab Pemerhati Bangsa