HUKUM - Di era digital yang semakin maju, fenomena "No Viral No Justice" mencuat sebagai representasi sosial yang mengkhawatirkan. Frasa ini merujuk pada kondisi di mana keadilan hanya dapat dicapai melalui tekanan massa di dunia maya, terutama di media sosial. Dalam konteks ini, publik sering kali merasa perlu memviralkan suatu isu agar perhatian dari pihak berwenang dapat diperoleh.
Fenomena ini mengindikasikan sebuah perubahan yang signifikan dalam dinamika keadilan dan otoritas hukum, dan lebih jauh lagi, menjadi penanda bahwa suatu negara berpotensi berubah menjadi vigilanty country—sebuah masyarakat yang bergantung pada aksi langsung atau keadilan informal yang dipaksakan oleh warga sipil.
Erosi Kepercayaan pada Sistem Hukum
Fenomena "No Viral No Justice" sering kali muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem hukum yang dianggap lamban, tidak responsif, atau bahkan korup. Ketika mekanisme formal gagal memberikan keadilan yang adil dan cepat, masyarakat merasa perlu mengambil langkah-langkah alternatif untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan memanfaatkan kekuatan media sosial, mereka mencoba menarik perhatian publik dan, secara tidak langsung, memaksa otoritas untuk bertindak.
Namun, realitas ini mencerminkan erosi mendalam terhadap kepercayaan masyarakat pada lembaga hukum dan pemerintah. Ketika hukum tidak lagi dianggap mampu menjadi pelindung utama, masyarakat cenderung menciptakan bentuk keadilan mereka sendiri, baik melalui penghakiman kolektif (trial by public opinion) maupun tekanan sosial. Dalam kondisi ini, negara mulai kehilangan legitimasi sebagai otoritas hukum utama, dan masyarakat secara perlahan berubah menjadi entitas yang mengadopsi pola pikir vigilante.
Kekuatan Media Sosial: Alat atau Ancaman?
Media sosial memainkan peran sentral dalam fenomena ini. Dengan kemampuan untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas, media sosial sering menjadi alat utama untuk menyoroti ketidakadilan. Di satu sisi, hal ini memberikan suara bagi mereka yang sebelumnya terpinggirkan. Kasus-kasus seperti pelecehan, korupsi, atau ketidakadilan sosial lainnya yang sebelumnya tidak terdeteksi oleh aparat hukum kini dapat menjadi perhatian nasional dalam hitungan jam.
Namun, ada sisi gelap dari kekuatan ini. Tekanan publik yang masif sering kali menyebabkan penghakiman tanpa proses yang adil. Sebuah isu yang viral di media sosial tidak selalu mencerminkan fakta yang sebenarnya, dan penghakiman publik sering kali didasarkan pada emosi daripada bukti. Dalam kondisi ekstrem, ini dapat mengarah pada tindakan vigilante seperti penghukuman massa, doxxing (membongkar data pribadi), atau tindakan main hakim sendiri yang berujung pada kekerasan.
Munculnya Vigilantisme dalam Struktur Sosial
Ketika masyarakat mulai menggantikan peran institusi hukum dengan tindakan vigilante, tanda-tanda keruntuhan negara hukum mulai terlihat. Vigilantisme, baik dalam bentuk fisik maupun digital, tumbuh subur dalam lingkungan di mana hukum dianggap tidak efektif. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakstabilan sosial, tetapi juga mengancam hak asasi individu, karena keputusan tentang siapa yang bersalah atau benar sering kali didasarkan pada persepsi publik yang subjektif.
Vigilantisme juga menciptakan paradoks moral: meskipun bertujuan untuk menegakkan keadilan, tindakan ini sering kali melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan itu sendiri, seperti asas praduga tak bersalah atau hak untuk mendapatkan proses hukum yang adil. Dalam jangka panjang, tindakan vigilante dapat memperburuk situasi dengan memperbesar ketegangan sosial dan memperlemah institusi hukum.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
Apa yang Dapat Dilakukan?
Untuk mencegah transformasi suatu negara menjadi vigilanty country, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, reformasi mendalam terhadap sistem hukum sangat penting. Transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam proses hukum harus ditingkatkan agar masyarakat dapat kembali percaya pada sistem yang ada.
Kedua, pemerintah perlu mengatur dan mengawasi penggunaan media sosial tanpa melanggar kebebasan berekspresi. Edukasi kepada masyarakat tentang literasi digital juga penting untuk mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat dan penghakiman publik yang prematur.
Ketiga, upaya kolektif diperlukan untuk memperkuat nilai-nilai hukum dan keadilan. Ini melibatkan semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta—dalam menciptakan budaya hukum yang lebih inklusif dan responsif.
Kesimpulan
Fenomena "No Viral No Justice" adalah alarm keras bagi negara-negara yang menghadapi krisis kepercayaan terhadap sistem hukum mereka. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat membawa negara pada fase Vigilanty Country, di mana keadilan informal menggantikan sistem hukum formal. Untuk menghindari hal ini, reformasi sistem hukum, pengaturan media sosial, dan penguatan budaya hukum harus menjadi prioritas utama. Keadilan sejati hanya dapat dicapai ketika sistem hukum mampu menjalankan fungsinya tanpa intervensi eksternal dari tekanan sosial yang tidak terkendali.
Jakarta, 07 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi