PENDIDIKAN - Mari kita memulai dari sebuah cerita sederhana—cerita tentang seorang anak di sebuah desa terpencil, yang tiap harinya berjalan kaki sejauh lima kilometer ke sekolah. Bukan karena dia ingin menjadi pahlawan dalam kisah hidupnya sendiri, tetapi karena dia tahu, hanya melalui pendidikan dia bisa bermimpi. Namun, mimpinya terhenti ketika biaya pendidikan terus melambung tinggi. Orang tuanya, petani dengan penghasilan pas-pasan, terpaksa menyerah pada kenyataan bahwa mimpi anak mereka harus dikubur dalam-dalam.
Di sisi lain, kita menyaksikan betapa kebodohan rakyat seperti sengaja dipelihara oleh mereka yang berkepentingan. Pendidikan yang mahal bukanlah sekadar masalah ekonomi, tetapi sebuah strategi. Rakyat yang tidak berpendidikan akan mudah diarahkan, mudah digiring ke arah yang menguntungkan para penguasa. Mereka cukup diberi sekarung beras atau beberapa liter minyak goreng saat pemilu, dan suara mereka dengan mudah dibeli. Kebodohan menjadi mata uang politik paling berharga bagi segelintir orang yang menikmati kekayaan dan kekuasaan di atas penderitaan rakyat.
Rakyat yang bodoh akan diam saat politisi dan oligarki dengan rakus mencuri kekayaan alam. Hutan yang dulu hijau, kini menjadi tambang yang gersang. Sungai yang dulu mengalir jernih, kini penuh limbah beracun. Namun, tak ada perlawanan. Kebodohan membuat rakyat hanya mampu melihat tanpa melawan. Mereka tidak tahu bahwa hak mereka atas lingkungan yang sehat sedang dirampas secara perlahan tapi pasti.
Rakyat yang bodoh akan diam saat ketidakadilan terjadi di depan mata mereka. Kriminalisasi terhadap mereka yang mencoba bersuara, penangkapan aktivis, hingga vonis hukum yang hanya berpihak pada mereka yang memiliki uang dan kuasa—semua ini dianggap sebagai “nasib” belaka. Mereka tidak tahu bahwa ada hak yang sedang dirampas, bahwa ada keadilan yang bisa diperjuangkan.
Ketika pajak dinaikkan, rakyat bodoh pun hanya bisa pasrah. Mereka tidak mengerti bagaimana uang yang mereka bayarkan akan digunakan. Tidak ada transparansi, tidak ada pertanggungjawaban. Dan ketika hak-hak mereka dirampas dengan kejam—akses terhadap pendidikan, kesehatan, atau bahkan air bersih—mereka tetap diam. Kebodohan telah membuat mereka kehilangan suara, kehilangan keberanian, dan kehilangan mimpi.
Lalu, bagaimana dengan kesombongan kekuasaan? Kebodohan rakyat adalah panggung megah bagi mereka yang duduk di atas singgasana. Para pemimpin yang sombong, dengan kekayaan yang dipamerkan tanpa rasa malu, melenggang dengan nyaman. Mereka tidak takut akan amarah rakyat, karena rakyat bodoh telah diajarkan untuk tunduk, bukan melawan. Mereka tidak takut akan protes, karena rakyat bodoh tidak tahu bagaimana cara melawan ketidakadilan.
Narasi ini mungkin terdengar menyakitkan, bahkan pahit. Tetapi inilah kenyataan yang harus kita hadapi. Pendidikan, yang seharusnya menjadi kunci untuk membuka pintu perubahan, telah berubah menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Dan selama kebodohan tetap dipelihara, selama rakyat tetap dibelenggu oleh ketidaktahuan, siklus ini akan terus berulang.
Namun, harapan belum mati. Sebab, di setiap sudut negeri ini, selalu ada mereka yang sadar, mereka yang bermimpi, dan mereka yang berani melawan. Dan suatu hari nanti, kebodohan yang sengaja dipertahankan ini akan runtuh. Sebab, tidak ada kekuasaan yang abadi, dan tidak ada kebodohan yang tidak bisa dilawan dengan pendidikan dan kesadaran. Pertanyaannya adalah: kapan kita mulai melawan? Kapan kita memutus rantai kebodohan yang menjerat rakyat kita?
Jakarta, 21 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi