POLITIK - Visi dan misi seorang presiden di Indonesia hampir selalu terdengar gemilang, menggugah harapan rakyat. Janji-janji manis bertebaran: pendidikan gratis, layanan kesehatan terbaik, pembangunan infrastruktur merata, hingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, apa yang sering terjadi setelah pemilu usai? Kursi kekuasaan sudah diisi, tapi harapan rakyat kerap kali kandas di tengah jalan. Janji-janji itu perlahan memudar, terhalang oleh agenda-agenda tersembunyi yang justru dimotori oleh orang-orang di lingkaran kekuasaan.
Menteri-menteri dan pejabat setingkat menteri, bahkan hingga tingkat dirjen dan direktur, sering kali tidak sejalan dengan visi besar presiden. Mereka lebih sibuk membangun ‘kerajaan’ pribadi: mempertebal pundi-pundi kekayaan, meluaskan jaringan kekuasaan, dan menjadikan jabatan sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan kelompok atau golongan. Rakyat? Ah, mereka sering kali hanya dianggap angka statistik atau suara di kotak pemilu. Saat janji tak ditepati, rakyat hanya bisa menggigit jari, bertanya-tanya: Apakah kami harus turun ke jalan untuk didengar? Haruskah ada anarki agar keadilan hadir di depan mata?
Mengapa begitu sulit bagi pemimpin kita untuk jujur? Bukankah rakyat tak meminta lebih dari yang layak mereka dapatkan? Satu piring nasi cukup untuk hidup sehari, satu atap cukup untuk berteduh. Mengapa harus ada korupsi yang merampas hak mereka? Bukankah negeri ini kaya raya, penuh sumber daya alam yang melimpah? Tapi, mengapa kejujuran terasa lebih langka daripada tambang emas di Papua?
Ketika rakyat berteriak, "Kami hanya ingin janji ditepati!" respons yang sering mereka terima justru berupa stigma dan tuduhan: provokator, pengacau, atau bahkan pengkhianat negara. Padahal, apa yang mereka perjuangkan hanyalah hak-hak dasar yang sudah dijanjikan oleh para pemimpin itu sendiri.
Baca juga:
Tony Rosyid: Harlah PPP Rasa NU
|
Ironi terbesar adalah bagaimana mereka yang berkuasa, yang mestinya menjadi pelayan rakyat, justru melihat rakyat sebagai ancaman. Ketika rakyat meminta transparansi, mereka dianggap mencurigakan. Ketika rakyat meminta keadilan, mereka dianggap menantang otoritas. Lalu, apakah lingkaran setan ini akan terus berputar tanpa akhir?
Harapan untuk pemimpin yang benar-benar tulus mungkin terdengar seperti mimpi di siang bolong. Namun, apakah begitu sulit untuk menemukan pemimpin yang paham bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan tiket untuk memperkaya diri? Akankah kita terus menanti atau justru harus memulai perubahan sendiri?
Semua jawabannya ada di tangan para penguasa dan rakyat yang tak henti berharap. Tapi satu hal yang pasti: Rakyat tidak akan pernah berhenti menagih janji.
Jakarta, 16 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi