PENDIDIKAN - Di bawah pohon ketapang yang rindang, seorang guru honorer duduk menatap murid-muridnya menikmati makan siang gratis. Piring-piring plastik penuh dengan nasi hangat, lauk bergizi, dan sayuran berwarna-warni tampak menjadi pelipur lapar para siswa yang sedang tumbuh. Lihatlah, si Dina, dengan pipi bulatnya mengunyah ayam goreng sambil bercanda dengan temannya. Di sudut lain, si Ali mengaduk sup bayamnya, tampak menggelengkan kepala karena panasnya uap yang mengepul. Kebijakan makan siang gratis ini memang seperti angin surga bagi mereka. Namun, di balik senyum guru itu, ada sebersit pertanyaan getir: Anak-anak muridku makan siang gratis, tapi anakku di rumah makan apa?
Guru itu adalah Pak Arman. Sejak matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya, Pak Arman sudah berangkat dari rumah kontrakannya yang mungil, mengayuh sepeda ontelnya sejauh 15 kilometer ke sekolah. Sebagai guru honorer, gajinya memang tak lebih dari upah buruh harian. Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, jawabannya sederhana namun memukau: “Karena saya cinta mengajar.” Kalimat itu, meski terdengar heroik, sering kali menjadi tameng rapuh untuk menutupi realitas bahwa hidup ini tak melulu bisa bertahan hanya dengan cinta.
Di rumah, anak Pak Arman, si kecil Afiq, sering bertanya polos, “Ayah, kenapa makan siang di sekolahku cuma tempe sama nasi?” Pak Arman hanya tersenyum sambil mengelus kepala putranya, menyembunyikan kegetiran yang mengendap di hatinya. Sebagai anak guru honorer, Afiq sudah terbiasa dengan lauk sederhana dan porsi yang pas-pasan. Kadang kala, Pak Arman harus memilih antara membeli buku pelajaran untuk murid-muridnya atau membeli susu untuk anaknya sendiri.
Di balik kebijakan makan siang gratis ini, ada ironi yang tak bisa dielakkan. Sementara murid-muridnya menikmati gizi seimbang, anaknya sendiri sering kali harus makan seadanya. Konsep pemerataan memang terdengar ideal, tetapi siapa yang berani membicarakan keadilan bagi mereka yang berdiri di balik papan tulis itu? Guru honorer, mereka yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan masa depan demi mencerdaskan generasi bangsa, sering kali menjadi kelompok yang luput dari perhatian.
Baca juga:
Ozkan, sahabat dari Istanbul
|
Bayangkan, jika kebijakan ini turut memikirkan para guru honorer, bagaimana ceritanya? Mungkin, makan siang gratis itu tak hanya diberikan untuk murid, tetapi juga untuk para pengajar. Mungkin juga, anak-anak para guru yang gajinya tak cukup untuk menyisihkan makanan bergizi bisa ikut menikmati fasilitas ini. Bukankah keadilan itu bukan hanya tentang memberi kepada yang membutuhkan, tetapi juga memastikan mereka yang memberi tetap mampu berdiri tegak?
Pak Arman dan ribuan guru honorer lain bukanlah mereka yang meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin dihargai setimpal dengan peran mereka yang begitu penting. Bukankah mustahil membayangkan Indonesia tanpa mereka? Jika murid adalah masa depan bangsa, maka guru adalah penopang harapan itu. Sayangnya, harapan Pak Arman sering kali terselip dalam doa malam, mengharap agar anaknya tak bertanya lagi, “Ayah, besok makan apa?”
Mungkin, di dunia yang ideal, pertanyaan ini tak akan ada. Di dunia itu, anak-anak murid makan siang gratis, dan anak guru honorer tak perlu lagi menahan lapar. Hingga hari itu tiba, suara Pak Arman akan tetap terdengar di kelas, mengajar dengan sepenuh hati meski hatinya sendiri kerap terluka.
Jakarta, 25 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi