JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Anwar Hafid mendorong Menteri Dalam Negeri untuk segera membuat aturan teknis terkait pengisian pejabat sementara kepala daerah transisi menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak nasional pada tahun 2024 mendatang.
“Saya mendorong Menteri dalam negeri untuk segera membuat aturan teknis itu, membenahi carut marut terkait pengisian pejabat daerah sementara dalam transisi menuju Pilkada serentak 2024 mendatang. Terutama yang terkait dengan kesertaan prajurit TNI/Polri aktif, ” ujar Anwar Hafid usai Diskusi Dialektika Demokrasi di Media Center DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis kemarin (24/6/2022).
Dijelaskan Anwar, kecarutmarutan itu dipicu ada beberapa beleid yang saling berbenturan. Seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 67/PUU-XIX/2021, Undang-undang TNI, Undang-undang Polri, Undang-undang ASN, undang-undang Pemerintah daerah, serta Undang-undang Pilkada yang kesemuanya tidak membolehkan personil atau prajurit TNI/Polri aktif untuk menjabat sebagai kepala daerah sementara. Bahkan dalam undang-undang TNI/Polri disebutkan bahwa TNI/Polri aktif harus mundur jika ingin menjadi pejabat sementara kepala daerah.
Satu-satunya yang memberi ruang untuk TNI/Polri aktif untuk bisa menjadi pejabat sementara kepala daerah adalah undang-undang ASN, dimana disebutkan bahwa TNI/Polri aktif bisa bekerja di 10 Kementerian. Sementara UU ASN juga masih melihat sistem pemerintahan di Indonesia ini masih administratif. Padahal Indonesia sudah menganut sistem pemerintahan daerah itu dengan otonomi daerah.
Sekalipun di Provinsi itu dikatakan bahwa Gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat, tetapi sesungguhnya Gubernur itu ada dalam irisan otonomi daerah, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya mereka. Dan salah satu ciri otonomi daerah itu adalah pemimpinnya dipilih baik langsung maupun tidak langsung oleh rakyat.
“Saya sepakat harus ada relaksasi aturan teknis soal pejabat di jaman sekarang. Dan yang harus diingat disini adalah keputusan Mahkamah konstitusi yang sudah bersifat final, dimana TNI/Polri aktif tidak boleh menjadi pejabat kepala daerah. Jikapun tetap menginginkan untuk menjabat sebagai kepala daerah maka ia harus mundur dari TNI/Polri, itu keputusan MK yang sudah final. Dan kami harap pemerintah harus tunduk dan menjalankan keputusan itu, ” tambah Politisi dari Fraksi Partai Demokrat.
Selain itu, lanjut Anwar, hal ini sejatinya juga sejalan dengan amanah reformasi. Dimana reformasi mengamahkan kepada TNI/Polri itu untuk kembali ke barak, dan tidak usah lagi ikut dalam jabatan politik (kecuali syaratnya harus mengundurkan diri).
“Jika amanah MK itu tidak dijalankan, maka akan terjadi penolakan Gubernur dari masyarakat dan pihak-pihak lain. Bahkan kemarin di daerah saya, habis dilantik pada saat yang sama menandatangani surat pengunduran diri. Kalau seperti ini kan wibawa pemerintah ada dimana? makanya harus dibuat aturan, ” pungkasnya. (ayu/aha)